Jumat, 19 Desember 2008

senyum


by ien bunda elang

Tak pernah jenuh saya mengingatkan jagoan saya untuk merapikan mainannya setiap kali selesai bermain. Dan tak henti-hentinya elang bilang, bantuin dong. Saat itu saya tersenyum.

Senyum yang selalu terurai di bibir saya, seperti saat saya harus terbaring sempurna di ruang operasi. Terdiam tetapi di sudut bibir saya ada senyum. Saya siap menghadapi apa saja demi elang. Setiap ibu di dunia ini pasti juga akan melakukan hal yang sama.

Atau tetap tersenyum ketika jarum suntik menyayat lengan elang ketika darahnya harus diambil saat cek darah karena suspect DB. Batin saya saat itu menjerit, layaknya jeritan orang-orang yang tak mampu membeli susu untuk anaknya. Saya beruntung, elang tidak cocok dengan susu yang harganya mahal.

Dokter, jangan ambil darahnya. Biarkan sakit itu saya yang rasa, jagan malaikat kecil saya. Tapi waktu tak mau kompromi, elang pun tergolek lemah. Mungkin bayi-bayi itu juga lemah terdiam di tempat tidur. Tanpa mampu protes selain menangis sejadi-jadinya. Saya tidak yakin ibu mereka mampu tersenyum seperti saya. Dan tangis bayi-bayi mungil itu semestinya didengar mereka yang tengah sibuk mempersiapkan polling suara, menjaring suara atau pun oportunis yang berkedok memberi bantuan tanpa pamrih.

Saya masih saja tersenyum, karena tingkah elang yang kian menggemaskan.Saya ciumi pipi montoknya, walau kemarin agak susut karena sakit tipes. Hmm..smell's good. Elang ingin Bakugan, Nda. Ya..nanti biar ayah belikan. Saya tersenyum dan merasa beruntung sekali. Saya masih bisa membelikan jagoan saya mainan, sedangkan teman-temannya?

Kelu lidah ini menyaksikan ketimpangan yang ada. Bahkan malam kemarin elang menangis keras sekali. Bunda belikan penggaris...saya heran, tidak biasanya elang begitu. Dan lagi penggarisnya masih bagus dan ada di tas sekolahnya.

Dengan terisak elang mengatakan, temannya tidak mampu beli penggaris baru karena ibunya tidak memiliki uang lagi. Saya tersenyum, dan dalam hati saya menjerit. Begitu beratnya beban ekonomi yang saudara-saudara saya tanggung.

Duhai pemilik suara, mari bergabung dan satukan tangan. Jika suara tangis bayi kita tak didengarkan lagi, untuk apa demokrasi? hmm...siap-siap saya kena bogem mentah para aktivis demokrasi. Suara ibu, hidup kaum ibu..dengarkan suara kami. Bagaimana kami bisa berjalan menegakkan demokrasi jika bayi-bayi kami menangis minta disusui?

Ataukah demokrasi hanya milik kaum pria? lalu apa arti gender? kesetaraan? inikah kemunduran pemikiran? saya sendiri tidak mengerti. Kuota 30 persen untuk kaum perempuan, apakah itu solusi? bagaimana pengisi 30 persen itu bisa mendengarkan suara tangisan bayi-bayi mungil, jika mereka sibuk merenda rencana kampanye?

Yang kita butuhkan adalah pengertian, saya percaya kartini tidak menginginkan kebebasan wanita yang seperti sekarang. Kartini di mata saya adalah seorang wanita sekaligus seorang ibu yang memikirkan kebutuhan dasarnya. KArena Kartini terlahir dari keluarga yang berkecukupan, jadi kebutuhan dasarnya adalah pendidikan. Berbeda dengan kartini-kartini sekarang yang terlahir dari keluarga kurang beruntung. Kami butuh makan! sembako murah! Bukan diajari untuk mengantri.

Saya sekarang tersenyum, tetapi di sudut mata saya tergenang dengan air mata. Maafkan bunda, Nak. bukan maksud bunda untuk menjadi cengeng. Ini realita yang harus kita hadapi. Atau mereka hadapi. Realita yang sama-sama kita hadapi.

Please, Nak. beresi mainanmu. Sebentar lagi ayah pulang membawa baku gan yang elang mau. Berbagilah dengan teman-temanmu. Terima kasih sudah membuat bunda merasakan tawa dan tangis dalam waktu yang bersamaan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar