Senin, 15 Desember 2008

24+1

24+1
by ien bunda elang

Angka 1

Brakkk! Meja redaksi tempat aku mengetik digebrak redakturku. Aku terkejut dan tak sengaja menatap matanya. Mata Bosku nyalang menatapku. Waduh, salah apa lagi aku ini. Tangannya menunjuk ke monitor komputer di depanku.

“Berita apa ini?”

Waduh gusti, aku menjerit dalam hati. Segera aku memeriksa berita yang baru saja aku kirim ke komputer Bos Item. Dari pandanganku, tak ada satu kata pun yang salah. Semua sudah tertata dengan baik. Bahkan angle berita sudah aku buat semenarik mungkin.Dimana letak kesalahannya?

Mataku menatap wajah Bos Item yang malam itu terlihat garang. “Masih juga belum tahu letak kesalahannya?” kata si Bos.

Aku meggelengkan kepalaku. Dalam hati aku berkata, tunjukkin dong dimana salahnya. Tapi aku tak berani mengeluarkan kalimat itu. Karena aku tahu, kalimat itu hanya akan memperkeruh keadaan. “Ini!” Bos Item menunjukkan sebuah kalimat yang menurutnya tidak pada tempatnya.

Bola mataku langsung bergerak menuju kalimat yang ditunjuk Bos. Tak ada yang salah. “Seharusnya bukan itu kalimatnya, tetapi seperti ini.” Jari-jari Bos Item langsung menari di keyboard di hadapanku. Aku terdiam dan tetap tidak mengerti.

Setelah menulis kalimat penggantinya, Bos menuju ruang lay out di belakang meja kerjaku. Di sana pun semua orang tak lepas dari omelannya. Bahkan Rosita anak artistik menangis dibuatnya. “Tata letak macam apa ini?” Bos mengumpat seraya merobek kertas lay out yang dibawa Rosita.

Aku menoleh, kulihat mata Rosita berair. Gadis manis berjilbab itu bergegas menuju ruang lay out sambil menyeka sudut matanya. Aku makin tak mengerti apa mau Bos satu ini. Aku termenung dan mengingat kembali awal perjalananku terdampar di Lampung, Sumatera.

Namaku Dea Restyana, asal Purworejo Jawa Tengah. Tinggiku 160 cm dan berat badanku 45 kg, aku tergolong gadis dengan kulit hitam dan rambut keriting. Hanya saja, sudah sejak umur 17 tahun, aku sudah mengenakan jilbab. Saat ini umurku menginjak 24 tahun, aku lulus kuliah dari Universitas Diponegoro Semarang. Jurusan yang aku ambil adalah jurusan yang langka, jurusan Ilmu Kelautan.

Selepas kuliah, aku tak menunggu lama untuk segera membaktikan ilmuku kepada negaraku (cie..idealis sekali). Sumatera menjadi pulau tujuanku.

Entah nasib atau sudah takdir, dari sekian banyak pekerjaan yang mampir di hadapanku, aku memilih bekerja menjadi wartawan.

Om, koran apa ini?”

Sebuah sore di Perumahan Kepolisian Kalianda, Lampung Selatan.

“Itu koran Lampung Post, wuk.” Om biasa memanggilku dengan kata “wuk”

Aku menyelesaikan membaca sebuah harian lokal Lampung yang isinya menurut pandanganku aneh. Aku terbiasa membaca koran Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Tempo dan Kompas. Koran ini aneh, batinku berpikir rasional.

Tata letaknya nggak karuan, cetakannya sedikit kabur, bahkan yang lebih parah ada pengulangan berita dari halaman yang satu ke halaman yang lain. Namun, di satu halaman, ada yang menarik. INFO LOWONGAN PEKERJAAN. Saat itu aku langsung beranjak masuk kamar dan mengambil sebuah kertas berikut bolpoinnya.

DIBUTUHKAN REPORTER, ARTISTIK, KOREKTOR, FOTOGRAFER. SYARAT PENDAFTARAN bla..bla..bla…Seperti mau membuat sebuah perusahaan koran baru saja, pikiranku mulai berdiskusi dengan hatiku.

Aku tertarik untuk mengisi lowongan itu. “Dah mantap, Wuk?” Pagi itu setelah beberapa hari aku mengirimkan lamaran, akhirnya ada panggilan tes. Aku menganggukkan kepalaku, aku cium tangan om dan menuju mobil pinjaman dari Kasatlantas Polres Lampung Selatan.

Perjalanan dari Kalianda, Lampung Selatan menuju ke Tanjung Karang Bandar Lampung menoreh kesan tersendiri di pikiranku. Di sebelah kana-kiri jalan utama terbentang pemandangan alam yang menawan. Turunan Tarahan terlampaui, aku termenung. Indah sekali ciptaan-Mu Gusti. Jalanan yang berkelok dan terkadang bergelombang membuat mobil yang aku tumpangi tak dapat melaju dengan kencang. Jarum jam di tanganku menunjuk ke angka 7.

Monumen sebuah mobil ringsek di kiri turunan Tarahan menjadi saksi bisu, kecelakaan bisa terjadi jika kita lalai dan berbuat seenaknya di jalan raya. Aku bergidik, untung Mas Udin membawa mobilnya hati-hati.

Kepalaku menoleh ke kiri, sebuah kereta api babaranjang yang mengangkut batu bara dengan rangkaian gerbong panjang melintas. Mas Udin sabar menunggu perlintasan kereta api dibuka. Lampung sungguh cantik, bagaikan gadis yang belum terjamah tangan-tangan kelam. Aku makin betah dan memutuskan untuk menetap di propinsi ini.

Pada dasarnya aku menyukai kehidupan yang penuh tantangan dan berbau alam. Sejak masa SMA dulu, hampir tiap minggu tak kulewatkan tanpa mengunjungi gunung-gunung yang ada di Jawa Tengah.

“Kamu boleh mendaki semua gunung, tetapi yang lokasinya di Jawa Tengah.” Itu pesan ibu padaku saat aku ingin mengawali pendakianku ke Gunug Slamet di Purwokerto.

Tarahan berlalu, pemandangan pegunungan berganti dengan pasir dan bau harum air laut. Mataku kian nyalang, Gusti…begitu sempurna Kau ciptakan Bumi Lampung.

---------bersambung---------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar