Senin, 15 Desember 2008

Aku dan suharto

Aku dan Suharto

by.ien bunda elang---dibuat januari, jauh sebelum suharto tiada----

Namaku Merduani, lahir dari rahim seorang wanita pekerja keras. Ibuku selalu berpikir, waktu itu uang. Bahkan untuk sekedar bersosialisasi dengan tetangga pun tidak ada kesempatan. Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Pengkhayal sejati, itulah aku. Suatu saat aku sangat menginginkan untuk menjadi istri presiden. “Aku jatuh cinta,” kataku lantang pada Yasmin, sahabat SMA-ku.

Yasmin tergelak, tidak biasanya. Mungkin itu pikir Yasmin. Aku cuek saja. Bermain dengan anganku. “Dia lelaki yang sempurna buatku, Min”.

Lelaki itu sangatlah mapan, walau pun sudah berumur. Tapi apa peduliku? Toh, tidak ada satu pun yang bisa menghalangi dunia imajinasi. Batinku mulai mencari pembenaran. Yasmin masih saja terkekeh.

Rambutnya memutih sudah, aku tetap saja mencintainya. “Gila kamu, Mer”. Kali ini Yasmin membuka mulutnya. Aku tetap saja tidak peduli.

Lihat, di layar kaca. Berita Mayang menikah dengan Putra Cendana. Mayang tak peduli akan istri Sang Putra Mahkota. “Itu kan dunia sana, Mer. Bukan di sini.” Suara Yasmin meninggi. Ya, kami tinggal jauh dari ibukota.

“Ah, cinta tetap saja cinta. Aku ngak bisa memilih. Hanya kebetulan saja cintaku tertuju pada Bapaknya.”

“Apa?” Yasmin membelalak. Iya, aku jatuh cinta dengan Suharto, sang Penguasa Orde Baru. Yasmin meletakkan tangannya di dahiku dan sejurus kemudian ke pipiku.

“Aduh, aduh….sadar, Mer.”

Aku tergelak. Aku memang jatuh cinta dengan segala kehebatan Suharto. Hebat, karena di Indonesia, hanya dialah yang bisa bertahta begitu lama. 32 tahun, Sukarno saja hanya bertahan sebentar, juga penerusnya. Dan yang lain ? sama saja.

Gemah ripah loh jinawi. Ups! Jelas. Saat itu, semua serba murah dan gampang didapatkan. Rakyat bersatu, akur. Yasmin tahu, aku paling suka melihat acara Klompencapir. Dimana pujaan hatiku selalu berdialog, walau kata orang pertanyaan-pertanyaannya sudah dipersiapkan. Namun tetap saja, cinta itu tanpa mata. Membutakan siapa saja.

Aku bahkan tidak peduli, banjir, longsor, dan bibit-bibit pergerakan di belahan pulau lain. Yang aku pedulikan hanya Suharto. Senyumnya menawan, wajahnya senantiasa bersinar. Kekasihku itu tidak peduli dengan segala macam tuntutan dari semua pihak. Korupsilah, mark up-lah atau apa saja. Dia tetap tersenyum. Juga ketika agustus beberapa tahun silam, saat wanita yang menjadi penghalangku harus meninggalkannya. Sayangku itu tetap tersenyum. Manis sekali.

Lagi-lagi Yasmin memegang dahiku. Aku waras, belum pernah gila. “Hebat kan, pujaan hatiku itu?”. Yasmin buang muka. Sahabatku memang tidak pernah suka dengan Suharto.

“Iya, kamu cinta dia. Jadi kamu tidak melihat kalau semua yang dia lakukan bakal merugikan anak cucu kita. HPH, KKN, atau apalah.”

Raut mukaku tak berubah, aku tersenyum simpul karena tahu Yasmin sudah mulai emosi. “Sabar.” Aku menenangkan Yasmin. Mungkin rasa cintaku ini sama dengan cinta orang-orang yang seharusnya mengusut semua kesalahan kekasihku itu. “Hebatkan?, kekasihku itu mampu memikat banyak kalangan. Iya kan, Min?”.

“Sebelllll….. “ Yasmin teriak.

Bahkan setelah semua yang dia lakukan, tak seorang pun dapat menyentuhnya. Aku cemburu. Jangan! Jangan cintai kekasihku. Dia milikku. Yasmin girang. Aku memiliki saingan.

Aku sempat sport jantung saat Suharto harus masuk ICU. Haruskan aku kehilangan cintaku? Untung dia bisa sembuh dan tersenyum kembali.

“Tuh, masih saja berpikir tentang Suharto.” Yasmin kesal dan menarik tanganku.

Aku santai saja. Dan terus melanjutkan rajutan cintaku. Aku sepertinya mendapatkan saingan. Pujaanku memiliki banyak fans gelap. Buktinya, banyak tanda cinta yang dia dapat. Semua yang dituduhkan saat reformasi tahun 1998 tak ada yang bisa menodainya.”Hahaha…hebat sayang.” Yasmin merengut.

Please, biarkan aku mencintainya dan memilikinya untuk diriku sendiri. Aku tahu, banyak hal buruk yang televisi katakan. But who care? Suharto tetap cintaku.

Senyumlah sayang, aku mencoba mengirimkan kembang. Wah, Yasmin makin melotot.

“Tahu kan kalau sekarang Yayasan belahan jiwamu itu tengah diobok-obok?”

Aku tahu, aku lihat. Tapi aku pura-pura buta. Biar semua tetap indah. “Aku nggak harus berdebat dengan mu kan, Min?. Aku sendiri tengah pusing memikirkan para sainganku.”

Ya, fans gelap belahan hatiku pasti akan menunjukkan rasa cintanya. Dan semua akan beres. Hebat kan? Aku seperti di awang-awang, mabuk cinta.

Aku mulai menghibur diri. Semua yang terjadi di negeri ini bukanlah salah sayangku. “Lalu salah siapa?”, Yasmin melemparkan tanganku yang dari tadi digenggamnya.

Alangkah gampangnya mencari kambing berwarna hitam di tanah lapang. “What?”

Iya tho, bukankah asas praduga tak bersalah selalu berlaku?

“Tobat, tobat…sadar Mer, sadar. Cinta benar-benar telah membutakanmu.” Yasmin memegang kepalanya. Mungkin sekarang dia yang mabuk. Hehehe…mabuk keadaan.

“Sudahlah, bukannya aku tidak tahu, aku hanya tidak mau tahu. Karena di mataku, cintaku itu benar.”

Sekarang begini saja, biarkan aku seorang diri yang mencinta Suharto. Singkirkan semua pesaingku, sanggup?. Yasmin lemas. “Mer, ini saatnya aku harus minum obat.”

Aku terkekeh. Sayang, tersenyumlah. Karena senyum itu telah membuat hatiku mabuk cinta.****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar