Senin, 29 Desember 2008

Purworejo Undercover

by ien bunda elang

Glek!! segelas susu putih dengan aroma jahe menyegarkan mengalir begitu saja ke tenggorokan saya. segar dan hangat. Jarum jam di tangan belahan jiwa saya menunjuk ke angka 9 dan 6. Hmm..apalagi cuaca sedikit mendung, pas banget.
Saya makin merapatkan tubuh ke lelaki di sebelah duduk saya. Sementara itu mulut ini tak berhenti untuk mengunyah. Hehehe..hasrat saya untuk memamah biak tak berhenti hanya karena cuaca mendung. Sebuah tahu bacem yang dibakar arang ada di mangkok dan kepala ayam sedikit gosong menemani sang tahu.
Saya melirik ke samping, lelaki saya begitu menikmati nasi bungkus. Hingga tak terasa sudah 3 bungkus menghuni perut gembulnya. Saat itu, kita duduk diam di samping Dinas Pendidikan Purworejo. Sebuah angkringan sederhana dengan terpal biru sebagai atapnya.
Dari sekian banyak angkringan yang sering kita kunjungi, samping Diknas lah yang menjadi favorit kami.

Kadang jam 01.00 kita masih kongkow di sana, dengan ditemani jahe susu dan bakaran kepala ayam. Bukan itu saja, di tempat itu kami sering bertukar pikiran. Termasuk mengapa bangku yang kami duduki kok sempit sekali, sehingga kadang pantat saya yang gemuk tak muat di bangku itu.

Kadang kalau cuaca cerah, kami duduk lesehan di trotoar samping angkringan itu. Dengan menu yang sama, sekedar untuk variasi kami pesan mie rebus dengan saos sambal pedas. hmmm yummy...Lidah saya dimanjakan dengan menu sederhana tapi terasa nikmat.

Dulu, ketika saya kuliah. Saya sering nongkrong di warung hiks dekat paviliun yang saya sewa. Ada sego kucing dan tempe penyet, nikmatnya pun sama. Selain memberi makan perut, saya juga membutuhkan nuansa kekeluargaan di warung itu. Iya, saya menemukan persaudaraan di tempat bernama angkringan. Sama seperti yang saya rasakan di angkringan favorit kami.

Bukan saja perut kenyang, tapi tak ada lagi batas sosial di tempat itu. Mau polisi, tukang parkir, ABG yang baru pulang apel, atau seperti saya yang hanya emak rumah tangga. Semua dilayani dengan senyum (lebih sering swalayan hehehehe) dan lebih sering penjual angkringan kami panggil Bos.

Dari obrolan bola, politik hingga sekedar ngrasani orang yang salah memakai sandal. Nikmat sekali, dualisme rasa, lahir dan bathin.

Kalau siang, saya suka kongkow di warung lotek Bu Mus di belokan Babrik Tambakrejo. Bu Mus yang berambut panjang dan murah senyum selalu menyambut saya dengan tatapan sumringah. Lotek buatannya pas sekali di lidah saya. Ditambah pangsit seharga 500, waduh..cacing di perut saya mulai berontak minta dikasih makan.***

Jumat, 26 Desember 2008

now and forever


by ien bunda elang

Gak nyangka saja, akhirnya sebuah keluarga sempurna terbentuk. Ada Anak, ayah, dan bunda. Satu kebahagiaan melihat banyak senyum dan rasa kenyamanan terpancar di wajah jagoan saya. Yupp..Elang sudah bisa tersenyum kembali, setelah sekian lama tidak. Saya berharap Purworejo juga tersenyum kembali, setelah sekian kali diombang-ambing banyak permasalahan hingga isu suksesi berhembus.

Jangan! jangan pernah ada suksesi, karena saya percaya patah satu tumbuh seribu. Seluruh saudara-saudara saya yang ada di dalam kota mau pun luar kota pasti sudah mengerti, mengetahui bahkan melihat, apa yang terjadi di kota ini. Kita optimis saja, nanti akan tumbuh tunas baru yang semoga bisa membawa damai di jagad persilatan Purworejo.

Saya tersenyum, kami memiliki keluarga utuh. Lihat, kami mengenakan kaos bergambar logo superman. Harapannya, kami bisa menjadi super. Super di segala hal. Namun tidak super di sesuatu yang buruk. (semoga)
Itu juga mungkin harapan saya dan saudara-saudara di sini. Rawan, ya..sekarang saat-saat rawan buat kita. Karena bulan-bulan ini menjemput bulan Juni. Jangan dicoblos! tapi dicentang! itu juga sesuatu yang baru. Semua orang sekarang sedang bermanis-manis, banyak senyum, mulut manis. Beware....jangan membeli kucing dalm karung. Hehehhe...nanti kena cakar..
Ups..kok jadi ngomongin kucing?
Keluarga adalah rumah buat kembali, dan Purworejo juga rumah buat kita kembali. Ingat nggak, kalau menjelang lebaran? Terminal Kutoarjo sesak, pool bis sumber alam,sesak..semua ingin pulang.
JAdi, apakah kita akan membiarkan rumah kita tidak terawat?

Wisata Kuliner Purworejo

by ien bunda elang

Liburan panjang telah tiba, kadang bingung juga. Mau kemana, Purworejo sendiri tidak memili banyak objek wisata...(apa benar???). saya tidak sepakat dengan wacana itu. Banyak tempat di Purworejo bisa jadi tujuan hang out. Gak percaya?
Semua tergantung dari makna berwisata buat kita, apa arti wisata? sekedar ngabisin uang untuk beli souvenir? sekedar nongkrong dengan pemandangan alam yang asyik? atau sekedar makan-makan? Saya juga tidak tahu.

Setiap merasa penat dengan aktifitas sehari-hari, saya lalu mengeluarkan motor saya untuk sekedar berkeliling alun-alun Purworejo. Di sana, hampir setiap sore banyak aktifitas. Dari Biker, kuda bendi, mobil ATV (mini) berbaterai atau hanya melihat orang-prang lalu lalang dengan aktifitas olahraga. Sungguh itu sudah bisa menghilangkan sedikit penat saya. Ada keinginan untuk terlibat di pelukan alun-alun. Jogging mungkin. Maklum, tubuh saya makin tambun karena jarang olahraga. Yupp...saya suka ngemil dan memamah biak..(hehehehe...).

Kalau ada waktu cukup, kadang saya bawa jagoan saya ke Kolam renang 412 . Airnya masih alami dan pemandangan dekat Sungai Bogowonto memberi rasa nyaman di mata . Elang yang memang suka air biasanya gak mau berhenti. Makanya saya harus berteriak "Elang, sudah..".Selesai berenang, biasanya saya makan Soto Sokaraja di depan pintu gerbang Yonif 412. Ya, habis dingin-dingin terus anget-anget. Untuk variasi kita juga makan Soto Pringgading di dekat lapangan tenis garnizun. Murah meriah tapi di perut pas sekali.
Apakah itu sudah wisata? entahlah..

Mungkin karena Purworejo ter-branding dengan sebutan Kota Pensiun, makanya membuat banyak orang tidak tertarik ngubek-ubekPurworejo. Atau Pemerintah yang tidak terlalu fokus dalam pembangunan wisata. Sebenarnya, tidak perlu membangu banyak infrastruktur. Hanya perlu satu hal FOKUS!
Apa yang kita titikberatkan untuk menjual pesona ayu Purworejo? misalnya wisata kuliner..benahi semua tempat-tempat yang menjadi tujuan orang-orang makan. Tidak harus makanan khas Purworejo (Kalau ada lebih bagus), atau jika memungkinkan membuat kawasan makan. Ada Kampung Semawis di Semarang, ada Kya kya MAyong di Purbalingga. Di purworejo?

Saya teringat, beberapa tahun silam. Ketika saya masih keci, saya sering dibawa Bapak untuk makan malam. Kala itu ada tempat makan berjajar di sepanjang depan Eks Bioskop Bagelen hingga perempatan Toko Roti Lusani di Pandekluwih. Warung-warung itu berjajar rapi dan bersih. Jadi kalau mau makan apa saja tinggal memilih. Trus kawasan itu hilang

sekarang ada kawasan Pujasera Terminal Lama, dan seputaran alun-alun..memang sudah terkompleks. Namun kesannya masih monoton. Saya datang hanya untuk makan, tanpa ada kesan lainnya. Andai saja ada inovasi, atau sentuhan lain. mungkin akan menjadi lebih semarak. Di alun-alun, ada Mbak Pur yang tampil dengan organ tunggal, sekali dua kali tidak membosankan, tetapi lama-lama juga menjadi biasa. Jika kita mau berguru dengan kawasan Kemang Jakarta, mungkin tampilan Purworejo akan kian cantik. Hmm..belajar tidak ada salahnya kan?

Ada koordinasi entertainment untuk menjerat pengunjung itu jadi kata kunci. Sehingga (walau) Purworejo tidak memiliki Owabong, atau pun TMII, Purworejo masih dilirik pengunjung untuk sekedar memanjakan rasa di lidah...
Atau mungkin paket kemasan yang berbeda dengan daerah lain. Saya pernah makan di Kampung Semawis, di sana ada atraksi barongsai dan banyak ornamen berbau etnis, tidak ada yang salah untuk menunjukkan identitas.
So, kapan Purworjeo tampil berani dan beda?
Dan mengapa kalau kita ingin makan sate winong kita harus pergi ke winong? lalu bagaimana kalau kita bawa keluarga yang satu ingin bebek dargo, yang satu ingin ayam bakar mbak Pur atau mbak wiek, trus yang satu ingin sate winong?
Haruskah semua makan sendiri-sendiri dan tidak mungkin duduk di satu meja?
hmm..alangkah indahnya kalau kita memiliki kawasan wisata makan...
kapan?

Senin, 22 Desember 2008

i miss u

by ien bunda elang

Deg! saya membaca Lampung Post, Lampung dilanda banjir. Hmm..provinsi yang sekian tahun lalu menjadi tempat berteduh saya tengah menangis. Saya pun ikut berduka. Jalan Kartini, seperti sungai dadakan, gambar dari fotografer Lampost menyayat hati saya. Saya bernostalgia.

Tak ada tempat lain setelah Purworejo yang menjadi kampung halaman saya selain Lampung. Di sanalah semuanya bermula. Saya mendapatkan pekerjaan untuk pertama kali, saya mendapatkan salary untuk pertama kali, bahkan saya merasakan menjadi calon ibu untuk pertama kalinya di Lampung.

Banyak persaudaraan di kota tapis itu, saya masih terisak. Lampung-ku berduka. Saya tidak mengerti, mengapa air bisa menggenangi dan bahkan akhirnya menjadi banjir di Jalan KArtini. Akankan daya resap sudah tak ada lagi? Adakah saudara-saudara sya di Lampung sudah menjadikan semua ruang adalah tempat sampah?
Entahlah...isak saya makin keras.

Gambar itu mencengkeram hati saya, Jalan KArtini..jalan dimana saya sering menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabat saya, ita, ama, yuni, bahkan mas udin atau mas dirman. Terkadang hanya sekedar makan nasi uduk bersama emma atau dedi. Rindu ini menyeruak tiba-tiba. Sahabat, sedang apakah kalian di sana?

Sering saya membuka halaman berita di internet, Dedi jadi anggota KPID Lampung, Ama jadi Korlip Siger TV, Ita jadi Asred Lampost..semestinya saya masih menjadi bagian dari itu, di sana.Sekarang saya di sini,jauh di seberang pulau, tetapi hati saya masih ada di Lampung Post. Saya selalu ingin menjadi bagiannya. Asli, rindu ini tak tertahankan lagi...

Di kawah candradimuka Lampost saya digodok dengan hajaran cukup keras, dari omelan Om Item hingga tamparan kasus Pusri yang membuat semua orang kebakaran jenggot. Dan saya ditempa oleh tangan-tangan yang ahli di bidangnya. Terimakasih Bang...

Lampung, Lampost..sungguh saya ingin berada di pelukanmu lagi. Berkarya, menulis, atau hanya sekedar makan nasi uduk dan pindang baung yang terkadang membuat perut saya protes. Tangis saya agak mereda.

Namun saya masih merindukan Lampung, hingga tiap hari tak kuasa tangan ini untuk tidak mengetik www.lampungpost.com. Saya rindu. Saya terkena sindrom malarindu tropikangen stadium 4. Mungkin hanya perasaan saja, tetapi itu selalu menjadi impian saya, untuk berjalan lagi, tapi kali ini bersama dua jagoan saya. Sekedar napak tilas dan bertemu saudara-saudara. Yang mungkin saat ini sudah memiliki dunia dan kehidupan yang berbeda.
Someday..ya maybe someday.***

Be a Mother

by ien bunda elang

Saya merasa bebas dan merdeka, ketika saya memutuskan untuk menjadi seorang ibu. Dan saya merasa sangat beruntung karena keinginan saya menjadi ibu terwujud. Walau melalui proses yang panjang dan menyakitkan buat saya, at last..dengan bangga saya menyandang gelar Bunda.

Ketika masa muda dulu, saya menginginkan untuk menjadi wanita karier. Yang bekerja di kantor dan memiliki relasi di mana saja. Tak terpikirkan oleh saya untuk turu ke dapur. Bahkan orang tua saya yang seorang wiraswasta tak pernah sekalipun mengenalkan perangkat dapur ke saya.
Apalagi didukung saya satu-satunya anak perempuan di keluarga saya. Hmm.lengkap sudah lingkungan membuat saya menjadi tomboy.

Ujung-ujungnya, saya tidak pernah melirik pekerjaan apa pun yang berbau perempuan. Bahkan dengan jahatnya saya terkadang membuat repot si mbak yang momong saya. dari ingin makan masakan A, atau setrika baju kurang rapi. Dan malam sebelum tidur harus dipijitin, hehehehe..saya menjadi tidak menghargai pekerjaan-pekerjaan si mbak.

Kini, ketika saya menjadi seorang ibu, saya terperangah. Begitu berat ternyata menjadi ibu. Pagi, saya harus bangun dan menyiapkan segala keperluan jagoan kami (walau masih saja saya tidak bisa memasak), membangunkan suami dengan segelas kopi dan sebuah kecupan, dan melihat dua pria dalam hidup saya berangkat menunaikan tugas masing-masing.

Belum lagi masalah cucian, seterikaan, menata ruangan dan segala rutinitas yang selalu berulang tiap harinya. Tidak ada kebosanan. Saya juga heran..dan saya jadi merasa bersalah ketika teringat perlakuan saya pada si mbak dulu.

Mungkin sebagian wanita beranggapan, menjadi ibu rumah tangga adalah hal yang tidak sepadan dengan emansipasi wanita. Buat saya, karier yang paling memiliki prestise buat seorang wanita adalah menjadi ibu rumah tangga.

Dari pagi hingga matahari terbenam dan muncul lagi, pekerjaan seorang ibu tidaklah berhenti. Terkadang terasa berat, tetapi saya mencoba melakukan yang terbaik. Dan saya tetap sadar, saya belum bisa memasak..huhuhuhuhu....

Ibu..alangkah beruntungnya wanita yang bisa mendapatkan gelar itu. Satu teman hingga saat ini merindukan untuk dipanggil ibu. Namun dia tetap belum mampu. Berbahagialah saya..
Teringat saat saya memasuki ruang operasi ketika hendak melahirkan jagoan saya, ibu--wanita perkasa buat saya--membisikan satu kata "jangan menangis".
Saya tak pernah menangis, bahkan saya tersenyum. Walau sakit yang mendera begitu hebat. Inikah harga yang harus dibayarkan untuk menjadi seorang ibu?

Dan saya merasakan itu, tanpa tangis dan air mata..saya rasa perjuangan ibu kala itu tak terbayar dengan apa pun di dunia ini.
TErima kasih ibu dan untuk kaum ibu, karena sudah melahirkan saya dan anak-anak yang memberi warna pada dunia. Dan saya bangga menjadi seorang ibu***

Jumat, 19 Desember 2008

senyum


by ien bunda elang

Tak pernah jenuh saya mengingatkan jagoan saya untuk merapikan mainannya setiap kali selesai bermain. Dan tak henti-hentinya elang bilang, bantuin dong. Saat itu saya tersenyum.

Senyum yang selalu terurai di bibir saya, seperti saat saya harus terbaring sempurna di ruang operasi. Terdiam tetapi di sudut bibir saya ada senyum. Saya siap menghadapi apa saja demi elang. Setiap ibu di dunia ini pasti juga akan melakukan hal yang sama.

Atau tetap tersenyum ketika jarum suntik menyayat lengan elang ketika darahnya harus diambil saat cek darah karena suspect DB. Batin saya saat itu menjerit, layaknya jeritan orang-orang yang tak mampu membeli susu untuk anaknya. Saya beruntung, elang tidak cocok dengan susu yang harganya mahal.

Dokter, jangan ambil darahnya. Biarkan sakit itu saya yang rasa, jagan malaikat kecil saya. Tapi waktu tak mau kompromi, elang pun tergolek lemah. Mungkin bayi-bayi itu juga lemah terdiam di tempat tidur. Tanpa mampu protes selain menangis sejadi-jadinya. Saya tidak yakin ibu mereka mampu tersenyum seperti saya. Dan tangis bayi-bayi mungil itu semestinya didengar mereka yang tengah sibuk mempersiapkan polling suara, menjaring suara atau pun oportunis yang berkedok memberi bantuan tanpa pamrih.

Saya masih saja tersenyum, karena tingkah elang yang kian menggemaskan.Saya ciumi pipi montoknya, walau kemarin agak susut karena sakit tipes. Hmm..smell's good. Elang ingin Bakugan, Nda. Ya..nanti biar ayah belikan. Saya tersenyum dan merasa beruntung sekali. Saya masih bisa membelikan jagoan saya mainan, sedangkan teman-temannya?

Kelu lidah ini menyaksikan ketimpangan yang ada. Bahkan malam kemarin elang menangis keras sekali. Bunda belikan penggaris...saya heran, tidak biasanya elang begitu. Dan lagi penggarisnya masih bagus dan ada di tas sekolahnya.

Dengan terisak elang mengatakan, temannya tidak mampu beli penggaris baru karena ibunya tidak memiliki uang lagi. Saya tersenyum, dan dalam hati saya menjerit. Begitu beratnya beban ekonomi yang saudara-saudara saya tanggung.

Duhai pemilik suara, mari bergabung dan satukan tangan. Jika suara tangis bayi kita tak didengarkan lagi, untuk apa demokrasi? hmm...siap-siap saya kena bogem mentah para aktivis demokrasi. Suara ibu, hidup kaum ibu..dengarkan suara kami. Bagaimana kami bisa berjalan menegakkan demokrasi jika bayi-bayi kami menangis minta disusui?

Ataukah demokrasi hanya milik kaum pria? lalu apa arti gender? kesetaraan? inikah kemunduran pemikiran? saya sendiri tidak mengerti. Kuota 30 persen untuk kaum perempuan, apakah itu solusi? bagaimana pengisi 30 persen itu bisa mendengarkan suara tangisan bayi-bayi mungil, jika mereka sibuk merenda rencana kampanye?

Yang kita butuhkan adalah pengertian, saya percaya kartini tidak menginginkan kebebasan wanita yang seperti sekarang. Kartini di mata saya adalah seorang wanita sekaligus seorang ibu yang memikirkan kebutuhan dasarnya. KArena Kartini terlahir dari keluarga yang berkecukupan, jadi kebutuhan dasarnya adalah pendidikan. Berbeda dengan kartini-kartini sekarang yang terlahir dari keluarga kurang beruntung. Kami butuh makan! sembako murah! Bukan diajari untuk mengantri.

Saya sekarang tersenyum, tetapi di sudut mata saya tergenang dengan air mata. Maafkan bunda, Nak. bukan maksud bunda untuk menjadi cengeng. Ini realita yang harus kita hadapi. Atau mereka hadapi. Realita yang sama-sama kita hadapi.

Please, Nak. beresi mainanmu. Sebentar lagi ayah pulang membawa baku gan yang elang mau. Berbagilah dengan teman-temanmu. Terima kasih sudah membuat bunda merasakan tawa dan tangis dalam waktu yang bersamaan. ***

orgasme

by ien bunda elang

Puncak yang selalu ingin didaki, seperti aku yang ingin merasakan "orgasme" di negeri ini. Mungkin klimaks yang ingin dicapai adalah kemakmuran bagi setiap warga negara. Klimaks dan tanpa antiklimaks. Sebagaimana keinginanku untuk selalu memberikan yang terbaik bagi orang-orang tercinta.

Andai para pemegang kebijakan memiliki cinta buat pemilihnya, pasti mereka akan menghambakan dirinya. MEmberikan yang terbaik, dan akhirnya akan terjadi orgasme massal. Dimana setiap warga negara akan merasakannya. Murah sandang, pangan, dan papan.

Bukan serba antri..budaya antri memang bagus tetapi kalau itu antri kebutuhan dasar? hmm, kita antiklimaks sebelum klimaks. Hal itu tidak mengenakan, membuat bete, dan sakit kepala berkepanjangan. Seperti Partono yang pusing tujuh keliling setiap kali Ijah istrinya berteriak-teriak setiap pulang dari pasar.
Harga-harga naik, kamu cari uang lebih banyak pakne..biar kita bisa beli sekerat daging untuk anak kita. Partono garuk-garuk kepala. Partono ejakulasi dini.


Mario Teguh bilang sesuatu yang menarik tentang leadership, semestinya setiap pemimpin memberikan hati, jiwa dan waktunya untuk menjadi sol sepatu bagi rakyatnya. Menjiwai rakyatnya, dan bukan menempatkan diri sebagai borjuis yang tak kenal siapa yang menjadikannya seperti sekarang.

Yee...siap-siap dah kita frustasi bersama. Mana ada pemimpin kita yang seperti itu? Bunda..bunda, jangan pesimis dulu. Apa yang gak mungkin buat Allah? Ups..maaf..ketika kalimat Kun terlontar dari-Nya, pastilah fayakun. Hanya saja, kapan itu terjadi? entahlah.

Lima tahun bukan waktu yang cukup untuk orgasme, sistem trial and error, rombak pasang, jelas makin membuat ruwet otak Partono.Sederhana saja, biarkan kaum proletar merasakan orgasme sesungguhnya. Atau kebiri sekalian mereka itu, sehingga tidak menjadi beban negara. Sebuah pemikiran yang sangat jahat!

Lagi-lagi PArtono garuk-garuk kepala. Ada atau tiada demokrasi ternyata tidak menjadi jaminan bagi PArtono untuk bisa orgasme setiap yang dia mau. Dan Ijah masih saja mendelik, Pakne..cari uang yang banyak...***

Pelangi

by ien bunda elang

Merah kuning hijau, di Indonesia yang ungu. Ya, warna-warna bendera sudah mulai berkibar. Semua baik, semua hebat. Mungkin itu yang ingin mereka sampaikan. Sementara itu, saudara saya di dusun dekat Jembatan Bogowonto kian merana. Hari ini, mereka tak banyak mendapatkan barang rongsokan.

Meletus balon hiaju, duer! yang hijau benar-benar meletus. Dampaknya nggak hanya di level atas saja, di bawah kian terasa. Saudara saya terombang-ambing dalam ketidakpastian. Antara mimpi dan realita bak bumi dan langit. Era baru telah muncul, kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sudah tak terbendung lagi. Semua boleh berkarya, semua boleh berbuat.

Aksi dan reaksi, begitu lekat. satu berita mengguncang hati saya. Kemerdekaan yang bergema di seantero negeri ini membuat setiap orang boleh berdalih. Berita itu menusuk jantung saya, masa kedaulatan negeri ini dan Islam dihapuskan. Wow..Are You mad? itu yang muncul di benak saya.

Entahlah apa yang ada dipikiran penggagas ide tersebut. Good or bad, itu buah dari demokrasi yang bergema di negeri ini. Kemajemukan menjadi kan banyak perbedaan, tetapi bukan berarti bisa saling membiarkan. Kedaulatan? buat saya itu mutlak! sebagaimana Islam, itu mutlak. Tak ada posisi tawar untuk keduanya.

Saudara saya mengirimkan pesan singkat, demokrasi sudah berjalan dengan sempurna, tetapi mengapa sembako masih saja mahal? Saya terdiam dan tidak berani membalas pesannya. Pesan sederhana tetapi saya sendiri tak mampu menguraikan artinya. Penguasa, penguasa..berilah hambamu uang! Iwan Fals menyanyikan itu bertahun lalu. Prediksinya berhasil, sembako mahal, susu mahal, dan bayi kami kurang gizi.

Huhuhu..kaum ibu menangis keras. Gerakan kembali ke ASI mulai dicanangkan. ASI? hmm..bagaimana dengan anak-anak yang tak bisa mendapatkannya? entah...Demokrasi bukanlah alat untuk menciptakan makanan dan kesejahteraan. Namun kesetaraan juga bukan sebuah jawaban.

Seorang sahabat di Pinggir Sungai Musi mengisyaratkan untuk menggergaji batu, sedangkan yang di Lampung menciptakan Perahu untuk mengarungi hidup ke depan. Saya memilih untuk menggambar pelangi. Merah kuning hijau, di langit yang biru. Saya menatap ke langit, langit saya tidak biru lagi. Saya ragu, itu biru laut, biru dongker, atau biru baby. Absurd.

So, mana yang kamu pilih saudaraku?****

My Heroes

by ien bunda elang

Dua lelaki ada di kehidupan saya, kadang saya bingung memilihnya. Bingung mana yang harus saya prioritaskan. Terkadang mereka cemburu satu sama lain. Kala itu terjadi, saya hanya tertawa. Feel like e lady. hahahaha....

Lelaki pertama saya memiliki sifat pencemburu sekali. Dia tidak akan pernah rela saya dekat dengan lelaki manapun. Pernah suatu saat saya pulang kerja diboncengin motor teman sekerja saya, dan kebetulan dia laki-laki. Lelaki pertama saya kontan marah-marah. Bantal dibuang, tas kerja saya dilemparkan keluar kamar. Mulutnya nggak berhenti mengomel. Dan saya melihat dua air mata bening ada di sudut matanya.

Saya sedih melihat kenyataan itu, nggak hanya sekali atau dua kali saya membuatnya cemburu. Satu kali, saya membuatnya marah besar. Saya suka sepakbola dan kebetulan saya punya pemain idola. Namanya Alessandro Del Piero. Yupp..mas alex..si ganteng dari Italy. Tahu saya suka sekali dengan mas Alex, lelaki pertama saya itu kontan cemburu berat. Kakinya menedang saya, kuku jarinya mencengkeram saya erat sekali. Bekasnya pun hingga kini nggak mau hilang.

Aduhhh..pedih sekali mengingat itu. Namun saya tidak pernah berniat melaporkannya ke polisi. Biarlah saya tanggung semua. Sebab mungkin semua salah saya yang membuatnya cemburu.

Lelaki kedua saya tidak jauh berbeda. Kalau lelaki pertama saya posesif sekali, yang kedua juga. "Sedang apa?", "Ge ngapa?" selalu pertanyaan itu muncul ketika kami berjauhan. Lelaki kedua saya ini mungkin bisa lebih menjaga emosinya. Setiap kali dia ngerasa cemburu, dia nggak akan melempar bantal atau pun guling. Paling hanya terdiam dan matanya menusuk tajam.

Apalagi ketika saya bercerita tentang mantan-mantan pacar saya. Hmm...gumamnya...Saya suka sekali melihat lelaki kedua saya itu marah dan cemburu. Itu berarti dia mencintai saya dan takut kehilangan saya. Mungkin perasaan itu hanya GR-nya saya saja. Entahlah...

Yang jelas, saat ini saya nggak mungkin lepas dari kedua lelaki itu. Bahkan, kini keduanya terlihat kompak. Walau kadang masih suka cemburu satu sama lain. Hehehe..saya bukan penganut poligami atau pun poliandri. Namun, saya bahagia dengan dua lelaki di kehidupan saya. Kami bertiga berbagi hari, berbagi hati, bahkan terkadang berbagi ranjang. Gila? saya tidak gila. Sering kita jalan bertiga dan dua tangan saya menggandeng keduanya.
Sering juga kita tidur bertiga dengan saya ada di tengah mereka, hehehe..biar dianggap gila, tetapi saya menikmati yang kami bertiga lakukan.

Minggu menjadi hari favorit kami, dari pagi hingga sore kami bertiga hanya untel2an di atas ranjang kami. Welehh..mandi siang, makan siang, hanya ngemil dan berpelukan bertiga. Biarlah orang tidak memahami yang kami lakukan. TErkadang kedua lelaki saya kompak menyerang saya, satu menyerang pipi yang satu menyerang dahi saya.

Ketika saya marah pada lelaki pertama saya, lelaki kedua saya membelanya. Dan sebaliknya. Duh Gusti...kompak sekali mereka. Saya tersepi ketika lelaki pertama saya berteriak.."Ayah! mari kita ciumi Bunda!", lelaki kedua saya pun bilang "Adik, serbu!". Dan saya hanya terkekeh kegelian.....

Gradasi

Gradasi
by ien bunda elang

Tak terasa tahun ini umur kian bertambah, 33 bukan angka kecil.Hmm..jika batas usia manusia hanya mencapai 100 tahun, saya telah menjalani sepertiganya.Hari kemarin utinya elang memberikan sebuah amplop berisi uang 333.300. Surpraise! mengingat ulang tahun saya masih 7 hari lagi. Di amplop tertulis "Selamat Ulang Tahun, selalu berbahagia ya"
Duhh..ingin menangis saja rasanya.

Entah kenapa, saya percaya sekali, setiap orang suka diberi hadiah. Juga saya. Entah hadiah ulang tahun, atau hadiah apapun. Yang menjadi persoalan adalah gradasi arti hadiah. "Dilarang menerima parsel", "Dilarang menerima bingkisan dalam bentuk apapun" kalimat-kalimat itu selalu muncul menjelang akhir tahun atau pun Lebaran.

Makna hadiah sudah bergeser arti, hampir semua orang yang memiliki kursi empuk takut menerima hadiah. Kening saya agak berkerut, benarkah? Kalau hadiahnya berupa bingkisan jelas ditolak. Atau berupa uang dalam amplop seperti yang saya terima dari utinya elang, pasti juga langsung dikembalikan.

Akan berbeda jika hadiah itu berupa surat berharga atau pun dana yang masuk ke dalam rekening anak dan suami.Hehehee..untung saya tidak memiliki kursi empuk, adanya hanya kursi bambu yang di ujungnya penuh dengan rayap.

Dana itu pun tidak bernama hadiah, tetapi modal bersama untuk membuat bengkel, salon, butik, dan mungkin show room mobil. Dari arti yang jelas, hadiah menjadi lebih terang. Warnanya memudar, gradasi.

Manusiawi sekali jika setiap individu senang menerima hadiah. Lalu bagaimana kalau hadiah itu berupa vpucher menginap di Cipinang? Apa yang teman-teman KPK tunjukkan dan buktikan mungkin tidak sebanyak yang belum terungkap. Ya..ya..gradasi hadiah merupakan fenomena gunug es, dan hampir di semua lini mengerti maknanya.

Terima kasih untuk hadiahnya uti sayang...

Selasa, 16 Desember 2008

Be a Single Parent

Be A Single Parent
by ien bunda elang

Menjadi single parent, bukan impian setiap orang. Juga saya. Tetapi kenyataannya itu menimpa saya, enam tahun yang lalu. Pernikahan kami harus berakhir di usianya yang ke -4 bulan. Kesetaraan gender menjadi seonggok sampah di mata saya. Saat itu saya menyadari, saya tidak akan pernah bisa setara dengan laki-laki.

Karena apa? Saat saya menjadi single parent, saya tengah hamil 2 bulan, tanpa pekerjaan, dan harus bersahabat dengan lingkungan. Berat...saat itu saya harus mengikuti norma sosial. Bahwa setiap wanita yang tengah mengandung harus ada pendamping, bahwa wanita yang tengah mengandung harus berada di sisi suaminya. Harus..harus..harus...

Benak saya berontak. Jika laki-laki pun bisa mengandung. Mungkin apa yang saya rasakan mereka bakal mengerti. Berat buat wanita untuk mengandung sendirian. Baik itu dari hubungan di pernikahan atau pun di luar pernikahan. Saya tidak peduli dengan proses awalnya, walau terkadang wanita sering "salah" dan gampang "tergoda" sehingga akhirnya ada kehamilan di luar keinginan, tetapi jika sudah terbentuk jabang bayi, tidak semestinya dia menanggung akibatnya. Right or wrong, a baby has no sin!

Kala itu saya sering menangis melihat pasangan duduk, suami mengelus perut gendut istrinya saat menunggu periksa di ruang dokter kandungan. Sementara saya sendiri, dengan topi menutup kepala. Tenang saja Nak..tak akan bunda biarkan sesuatu terjadi padamu..Tapi saya lebih menangis lagi jika mendengar seorang ibu mengugurkan kandungannya.

Diantara 2 pilihan, saya lebih memilih duduk seorang diri di ruang tunggu dokter kandungan. Bukan membuang janin saya! Tersadar dengan kondisi itu, saya tidak pernah menangis lagi. Hidup adalah pilihan, dan saya memilih untuk membesarkan anak saya, walau sendirian.
Ada satu wanita perkasa di dekat saya, dia menjadi single parent dengan 2 anak sejak 24 th lalu. Dan hingga kini dia tidak pernah menikah lagi. Dia begitu hebat dalam membesarkan anak-anaknya. Kuat, dan satu yang selalu saya ingat dia tidak pernah mengeluh bahkan tidak pernah menangis. "Kamu tuh harus kuat, mapan sehingga anak-anak bisa bergantung padamu. Dan jangan pernah menangis, karena anak-anak akan belajar dari kelemahan atau kekuatanmu". Kata-kata itu selalu terngiang di benak saya.

Dan memang benar, ibu adalah madrasah pertama buat anak-anak kita. Sejak saat itu, saya tidak pernah menangis lagi.

Dan baru 16 Nopember 2008, saya menangis lagi. Saat itu, saya menanggalkan gelar Single parent dan menikahi sahabat saya. Improvisasi terhebat yang pernah saya ambil.Karena kami tidak pernah menjalin hubungan asmara barang semenit pun.

Untuk ibu dan calon ibu, jangan pernah takut menjadi single parent. Jika memang itu menimpa kita, tetaplah tersenyum, karena ada anak-anak di dalam rahim kita yang belajar dari tawa dan tangis kita.

*****Selamat hari ibu*****

No Matter With Size

No Matter With Size
by ien bunda elang

Seorang kawan mendatangi saya dan menangis sejadi-jadinya. Saya bingung dan tidak mengerti harus berbuat apa. Hanya pelukan hangatdan bahu gempal yang bisa saya tawarkan. Whazzup sweety..saya mulai merajuk, mencoba mencari arti tangisnya.

Miliknya kecil sekali, kawan saya mulai bercerita. Hmm...saya terdiam. Terbayang film-film porno yang selama ini banyak beredar dan mudah diunggah, semua film itu mendoktrin bahwa semakin besar ukuran semakin memuaskan. Saya peluk erat sahabat saya. Berusaha menenangkannya.

What's a matter with size, dear? Tanya saya padanya. Dia terdiam, bingung dan beringsut menjauhi saya. Ketakutannya tidaklah beralasan. Dogma yang tertanam di benaknya adalah doktrin bawah sadar. itu bukan konsensus, saya yakin Size tidaklah menjadi ukuran. Mau Jawa, Arab, Timur Tengah, Negro atau ras apa pun.

Kita bicara selera kawan. Betul! Tapi jika kebahagiaan itu diukur dengan Size, itu menjadi dagelan hebat abad ini. Saya biarkan kawan saya berpikir sejenak. Dan saya bertanya,
Apa suaminya baik dengannya? dia mengangguk.
Apa suaminya memperlakukannya just like a lady? dia mengangguk.
Apa suaminya mencintainya? dia mengangguk.
Apa suaminya mencukupi kebutuhan lahir batinnya? dia mengangguk.
Apa suaminya bertanggungjawab? dia mengangguk.
Apa suaminya pernah berselingkuh? dia menggeleng
Apa suaminya pernah memukulinya? dia menggeleng
Apa suaminya pernah meninggalkannya menangis sendiri? dia menggeleng
So, what's the matter with size?
Kawan, hidup itu tidak hanya sekedar dogma dan doktrin. Tapi ada keyakinan dan harapan. Dan saya pun bertanya pada
Pernahkah suaminya membuatnya orgasme? dia menjawab sering
Pernahkah suaminya membuatnya tersenyum? dia menjawab sering
Pernahkan suaminya memberinya hadiah? dia menjawabnya sering
Pernahkah suaminya memujanya? dia menjawab all the time
So, what's the matter with size?
Kawan saya tersenyum dan memeluk saya erat. Mau S, M, L atau pun extra large..itu hanya ukuran. Dan itu bukan ukuran kebahagiaan kita. Jika dimensi bahagia sudah terkotakkan dengan ukuran, atau pun indikator lainnya, bersiaplah untuk terjebak di dalamnya.
Biarkan kebahagian itu menemukan sendiri kebebasannya, seperti layaknya kemerdekaan pikiran kita.
Lagi-lagi kawan saya memeluk saya, erat sekali.

Senin, 15 Desember 2008

jagoan-jagoanku

di basecamp itu aku liat ketulusan

soulmate-ku lagi diskusi

menatap apa, sayang?

bunda..aku ngaji dulu ya..

cool, kan?

angka 2--24+1

Angka 2

Prittttttttttttttt……….peluit panjang bergema, tanda berakhirnya pertandingan sepakbola di Stadion Pahoman, Bandar Lampung. Tim kesayangan pencinta bola Lampung berhasil mengalahkan lawannya.

Aku tertawa puas, karena mendapatkan cerita menyenangkan. Persatuan Sepakbola Bandar Lampung (PSBL) menang telak. Dengan tas ransel di punggung, aku berjalan menuju kerumunan penonton. Menanyakan komentar mereka atas jalannya pertandingan. “PSBL memang menang teknik. Semoga bisa terus begini.” “PSBL maju terus.” Hmmm…aku tersenyum, ikut luruh dalam kegembiraan mereka.

“Kuya bathok…kalau sudah selesai pertandingan itu langsung ke kantor. Berita segera dibuat. Malah keluyuran, dasar!” Lagi-lagi omelan si Bos bergema.

Padahal, dari Stadion Pahoman aku tak kemana-mana. Hanya pulang ke kamar kost untuk mandi. Karena baju yang kupakai terasa lepek di badan. Deddy, Fotograferku hanya tertawa mendengar aku diomelin.

“Sukurinn…” Deddy mengolok-olokku.

Tangan kananku terkepal dan tanpa sepengetahuan Bos, kepalanku kuarahkan ke Deddy. Somprett..anak itu hanya terbahak-bahak.

Segera aku susun berita kemenangan PSBL tanpa melihat Bos yang asyik mengedit berita di meja belakangku. Di sisi kanan meja kerjaku, Ama tengah menyimak catatannya. Ita juga tak kalah asyiknya. Huhuhuhuhu…semua larut dalam catatannya.

“Hallo…” Yuni muncul dari pintu masuk ruang redaksi. Wajahnya cerah. Yuni berjalan menuju meja kerjanya. “Piye Nduk, PSBL menang atau kalah?”

“Menang.” Tanpa menoleh aku menjawab pertanyaan Yuni. Jari tangan kami pun menari di atas tuts keyboard komputer kantor.

Adzan maghrib berkumandang, Yuni, Ama dan Ita sudah berkemas untuk pulang ke rumah masing-masing.

“De, dah kelar belum?” Ama mendekatiku. Kepalaku menggeleng. Kita tunggu di luar ya. Aku mengangguk. Ketiga sahabatku keluar dari ruang redaksi menuju kantin di bawah kantor. Aku berjalan menuju kamar mandi, mengambil air. Wajahku bersujud menghadap Gusti.

Masih membayang dengan jelas, hari itu, ribuan pelamar menjejali ruangan tes seleksi karyawan Lampung Post. “Saya menunggu di parkiran saja Mbak.” Mas Udin berlalu setelah mengantarkan aku sampai pintu masuk. Sudut mataku memandang langkah Mas Udin.

Aku bergegas menuju meja daftar ulang untuk mengambil nomor peserta. Mataku menyapu seluruh ruangan, tak satu pun yang aku kenal. Aku duduk, nomor aku sematkan di dadaku. Aku mencoba tersenyum pada peserta di samping kanan kiriku.

Ughh.aku dianggurin, tak satu pun membalas senyumanku. Malu rasanya. Aku sadar, mereka kompetitorku.

Tes tertulis berlalu. “Seluruh peserta tes harap menunggu.” Suara panitia menggelegar memenuhi seantero ruangan.

Aku keluar, mencari udara segar. Tes tertulis yang tidak begitu sukar, tetapi membutuhkan pemikiran yang dalam. Kakiku mengajak melangkah ke tempat parkir. “Mas Udin, Mas.” Aku membangunkan Mas Udin yang tertidur di dalam mobil. “Bisa nggak beli minum?” Mas Udin tersenyum serasa menyatakan kesediaannya untuk membeli air minum.

Deretan nama yang semula ribuan, terpangkas menjadi ratusan. Hore..aku lolos ke tahap selanjutnya. Tes psikologi. Aku menebak-nebak, bagaimana bentuk tes psikologi. Maklum, baru kali ini aku melamar pekerjaan.

Aku masih menenpati tempat dudukku semula, hanya saja orang-oran di sekitarku sudah berubah formasinya. Duduk di belakangku seorang gadis kurus, tinggi, dan bermata sipit. “Hai.” Aku berusaha untuk menyapanya terlebih dahulu. Tes belum dimulai, panitia tengah menyiapkan materi tes.

Sang Gadis tersenyum. Seneng juga akhirnya ada yang mau tersenyum denganku. “Dea” Aku mengulurkan tanganku. “Ama” Kami berkenalan. Itulah awal aku mengenal Ama.

Selembar kertas putih dibagikan satu persatu, perintahnya jelas, aku harus menggambar. Oh God! Aku paling lemah jika diminta menggambar. Namun karena kertas itu harus terisi, aku menggambar sebisaku. Sebuah rumah lengkap dengan pintu dan pagarnya, di sisi kanan depan aku gambar sebuah pohon rindang, di sisi kiri aku gambar mobil beroda empat. Aku tertawa melihat asil gambaranku yang sangat lucu. Biarlah, toh aku bukan seniman yang bisa menumpahkan ide-idenya di atas kanvas.

Aku melirik Ama, teman baruku itu menggambar manusia lengkap dengan hidung, mata, dan telinganya.

Gambar Ama terlihat lucu juga di mataku. Tahap demi tahap aku lewati, dari ratusan, kami menjadi tiga puluhan. Kami terabgi menjadi lima kelompok. Rupanya kami harus melakukan sebuah game yang menonjolkan diskusi dalam memecahkan sebuah permasalahan. Aku berargumen dengan peserta tes lain di kelompokku.

Rupanya, kelompok kecil yang terdiri dari peserta tes itu merupakan sebuah simulasi team work. Ada yang egois, ada yang berjiwa pemimpin, ada yang hanya menurut tanpa berargumen.

Di akhir sesi, aku menerima sebuah amplop. “Yang mendapat amplop, berarti besok harus datang ke Kantor Lampung Post di Jalan Ahmad Yani, Tanjukarang. Tes selanjutnya dilaksanakan di kantor mulai pukul 08.00.”

Alhamdulillah, Aku berhasil melewati tahap demi tahap. Perjalanan pulang ke Kalianda terasa menjadi sangat indah.

----------------bersambung--------------
entah kapan nyampai di 24+1...

24+1

24+1
by ien bunda elang

Angka 1

Brakkk! Meja redaksi tempat aku mengetik digebrak redakturku. Aku terkejut dan tak sengaja menatap matanya. Mata Bosku nyalang menatapku. Waduh, salah apa lagi aku ini. Tangannya menunjuk ke monitor komputer di depanku.

“Berita apa ini?”

Waduh gusti, aku menjerit dalam hati. Segera aku memeriksa berita yang baru saja aku kirim ke komputer Bos Item. Dari pandanganku, tak ada satu kata pun yang salah. Semua sudah tertata dengan baik. Bahkan angle berita sudah aku buat semenarik mungkin.Dimana letak kesalahannya?

Mataku menatap wajah Bos Item yang malam itu terlihat garang. “Masih juga belum tahu letak kesalahannya?” kata si Bos.

Aku meggelengkan kepalaku. Dalam hati aku berkata, tunjukkin dong dimana salahnya. Tapi aku tak berani mengeluarkan kalimat itu. Karena aku tahu, kalimat itu hanya akan memperkeruh keadaan. “Ini!” Bos Item menunjukkan sebuah kalimat yang menurutnya tidak pada tempatnya.

Bola mataku langsung bergerak menuju kalimat yang ditunjuk Bos. Tak ada yang salah. “Seharusnya bukan itu kalimatnya, tetapi seperti ini.” Jari-jari Bos Item langsung menari di keyboard di hadapanku. Aku terdiam dan tetap tidak mengerti.

Setelah menulis kalimat penggantinya, Bos menuju ruang lay out di belakang meja kerjaku. Di sana pun semua orang tak lepas dari omelannya. Bahkan Rosita anak artistik menangis dibuatnya. “Tata letak macam apa ini?” Bos mengumpat seraya merobek kertas lay out yang dibawa Rosita.

Aku menoleh, kulihat mata Rosita berair. Gadis manis berjilbab itu bergegas menuju ruang lay out sambil menyeka sudut matanya. Aku makin tak mengerti apa mau Bos satu ini. Aku termenung dan mengingat kembali awal perjalananku terdampar di Lampung, Sumatera.

Namaku Dea Restyana, asal Purworejo Jawa Tengah. Tinggiku 160 cm dan berat badanku 45 kg, aku tergolong gadis dengan kulit hitam dan rambut keriting. Hanya saja, sudah sejak umur 17 tahun, aku sudah mengenakan jilbab. Saat ini umurku menginjak 24 tahun, aku lulus kuliah dari Universitas Diponegoro Semarang. Jurusan yang aku ambil adalah jurusan yang langka, jurusan Ilmu Kelautan.

Selepas kuliah, aku tak menunggu lama untuk segera membaktikan ilmuku kepada negaraku (cie..idealis sekali). Sumatera menjadi pulau tujuanku.

Entah nasib atau sudah takdir, dari sekian banyak pekerjaan yang mampir di hadapanku, aku memilih bekerja menjadi wartawan.

Om, koran apa ini?”

Sebuah sore di Perumahan Kepolisian Kalianda, Lampung Selatan.

“Itu koran Lampung Post, wuk.” Om biasa memanggilku dengan kata “wuk”

Aku menyelesaikan membaca sebuah harian lokal Lampung yang isinya menurut pandanganku aneh. Aku terbiasa membaca koran Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Tempo dan Kompas. Koran ini aneh, batinku berpikir rasional.

Tata letaknya nggak karuan, cetakannya sedikit kabur, bahkan yang lebih parah ada pengulangan berita dari halaman yang satu ke halaman yang lain. Namun, di satu halaman, ada yang menarik. INFO LOWONGAN PEKERJAAN. Saat itu aku langsung beranjak masuk kamar dan mengambil sebuah kertas berikut bolpoinnya.

DIBUTUHKAN REPORTER, ARTISTIK, KOREKTOR, FOTOGRAFER. SYARAT PENDAFTARAN bla..bla..bla…Seperti mau membuat sebuah perusahaan koran baru saja, pikiranku mulai berdiskusi dengan hatiku.

Aku tertarik untuk mengisi lowongan itu. “Dah mantap, Wuk?” Pagi itu setelah beberapa hari aku mengirimkan lamaran, akhirnya ada panggilan tes. Aku menganggukkan kepalaku, aku cium tangan om dan menuju mobil pinjaman dari Kasatlantas Polres Lampung Selatan.

Perjalanan dari Kalianda, Lampung Selatan menuju ke Tanjung Karang Bandar Lampung menoreh kesan tersendiri di pikiranku. Di sebelah kana-kiri jalan utama terbentang pemandangan alam yang menawan. Turunan Tarahan terlampaui, aku termenung. Indah sekali ciptaan-Mu Gusti. Jalanan yang berkelok dan terkadang bergelombang membuat mobil yang aku tumpangi tak dapat melaju dengan kencang. Jarum jam di tanganku menunjuk ke angka 7.

Monumen sebuah mobil ringsek di kiri turunan Tarahan menjadi saksi bisu, kecelakaan bisa terjadi jika kita lalai dan berbuat seenaknya di jalan raya. Aku bergidik, untung Mas Udin membawa mobilnya hati-hati.

Kepalaku menoleh ke kiri, sebuah kereta api babaranjang yang mengangkut batu bara dengan rangkaian gerbong panjang melintas. Mas Udin sabar menunggu perlintasan kereta api dibuka. Lampung sungguh cantik, bagaikan gadis yang belum terjamah tangan-tangan kelam. Aku makin betah dan memutuskan untuk menetap di propinsi ini.

Pada dasarnya aku menyukai kehidupan yang penuh tantangan dan berbau alam. Sejak masa SMA dulu, hampir tiap minggu tak kulewatkan tanpa mengunjungi gunung-gunung yang ada di Jawa Tengah.

“Kamu boleh mendaki semua gunung, tetapi yang lokasinya di Jawa Tengah.” Itu pesan ibu padaku saat aku ingin mengawali pendakianku ke Gunug Slamet di Purwokerto.

Tarahan berlalu, pemandangan pegunungan berganti dengan pasir dan bau harum air laut. Mataku kian nyalang, Gusti…begitu sempurna Kau ciptakan Bumi Lampung.

---------bersambung---------------------

Aku dan suharto

Aku dan Suharto

by.ien bunda elang---dibuat januari, jauh sebelum suharto tiada----

Namaku Merduani, lahir dari rahim seorang wanita pekerja keras. Ibuku selalu berpikir, waktu itu uang. Bahkan untuk sekedar bersosialisasi dengan tetangga pun tidak ada kesempatan. Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Pengkhayal sejati, itulah aku. Suatu saat aku sangat menginginkan untuk menjadi istri presiden. “Aku jatuh cinta,” kataku lantang pada Yasmin, sahabat SMA-ku.

Yasmin tergelak, tidak biasanya. Mungkin itu pikir Yasmin. Aku cuek saja. Bermain dengan anganku. “Dia lelaki yang sempurna buatku, Min”.

Lelaki itu sangatlah mapan, walau pun sudah berumur. Tapi apa peduliku? Toh, tidak ada satu pun yang bisa menghalangi dunia imajinasi. Batinku mulai mencari pembenaran. Yasmin masih saja terkekeh.

Rambutnya memutih sudah, aku tetap saja mencintainya. “Gila kamu, Mer”. Kali ini Yasmin membuka mulutnya. Aku tetap saja tidak peduli.

Lihat, di layar kaca. Berita Mayang menikah dengan Putra Cendana. Mayang tak peduli akan istri Sang Putra Mahkota. “Itu kan dunia sana, Mer. Bukan di sini.” Suara Yasmin meninggi. Ya, kami tinggal jauh dari ibukota.

“Ah, cinta tetap saja cinta. Aku ngak bisa memilih. Hanya kebetulan saja cintaku tertuju pada Bapaknya.”

“Apa?” Yasmin membelalak. Iya, aku jatuh cinta dengan Suharto, sang Penguasa Orde Baru. Yasmin meletakkan tangannya di dahiku dan sejurus kemudian ke pipiku.

“Aduh, aduh….sadar, Mer.”

Aku tergelak. Aku memang jatuh cinta dengan segala kehebatan Suharto. Hebat, karena di Indonesia, hanya dialah yang bisa bertahta begitu lama. 32 tahun, Sukarno saja hanya bertahan sebentar, juga penerusnya. Dan yang lain ? sama saja.

Gemah ripah loh jinawi. Ups! Jelas. Saat itu, semua serba murah dan gampang didapatkan. Rakyat bersatu, akur. Yasmin tahu, aku paling suka melihat acara Klompencapir. Dimana pujaan hatiku selalu berdialog, walau kata orang pertanyaan-pertanyaannya sudah dipersiapkan. Namun tetap saja, cinta itu tanpa mata. Membutakan siapa saja.

Aku bahkan tidak peduli, banjir, longsor, dan bibit-bibit pergerakan di belahan pulau lain. Yang aku pedulikan hanya Suharto. Senyumnya menawan, wajahnya senantiasa bersinar. Kekasihku itu tidak peduli dengan segala macam tuntutan dari semua pihak. Korupsilah, mark up-lah atau apa saja. Dia tetap tersenyum. Juga ketika agustus beberapa tahun silam, saat wanita yang menjadi penghalangku harus meninggalkannya. Sayangku itu tetap tersenyum. Manis sekali.

Lagi-lagi Yasmin memegang dahiku. Aku waras, belum pernah gila. “Hebat kan, pujaan hatiku itu?”. Yasmin buang muka. Sahabatku memang tidak pernah suka dengan Suharto.

“Iya, kamu cinta dia. Jadi kamu tidak melihat kalau semua yang dia lakukan bakal merugikan anak cucu kita. HPH, KKN, atau apalah.”

Raut mukaku tak berubah, aku tersenyum simpul karena tahu Yasmin sudah mulai emosi. “Sabar.” Aku menenangkan Yasmin. Mungkin rasa cintaku ini sama dengan cinta orang-orang yang seharusnya mengusut semua kesalahan kekasihku itu. “Hebatkan?, kekasihku itu mampu memikat banyak kalangan. Iya kan, Min?”.

“Sebelllll….. “ Yasmin teriak.

Bahkan setelah semua yang dia lakukan, tak seorang pun dapat menyentuhnya. Aku cemburu. Jangan! Jangan cintai kekasihku. Dia milikku. Yasmin girang. Aku memiliki saingan.

Aku sempat sport jantung saat Suharto harus masuk ICU. Haruskan aku kehilangan cintaku? Untung dia bisa sembuh dan tersenyum kembali.

“Tuh, masih saja berpikir tentang Suharto.” Yasmin kesal dan menarik tanganku.

Aku santai saja. Dan terus melanjutkan rajutan cintaku. Aku sepertinya mendapatkan saingan. Pujaanku memiliki banyak fans gelap. Buktinya, banyak tanda cinta yang dia dapat. Semua yang dituduhkan saat reformasi tahun 1998 tak ada yang bisa menodainya.”Hahaha…hebat sayang.” Yasmin merengut.

Please, biarkan aku mencintainya dan memilikinya untuk diriku sendiri. Aku tahu, banyak hal buruk yang televisi katakan. But who care? Suharto tetap cintaku.

Senyumlah sayang, aku mencoba mengirimkan kembang. Wah, Yasmin makin melotot.

“Tahu kan kalau sekarang Yayasan belahan jiwamu itu tengah diobok-obok?”

Aku tahu, aku lihat. Tapi aku pura-pura buta. Biar semua tetap indah. “Aku nggak harus berdebat dengan mu kan, Min?. Aku sendiri tengah pusing memikirkan para sainganku.”

Ya, fans gelap belahan hatiku pasti akan menunjukkan rasa cintanya. Dan semua akan beres. Hebat kan? Aku seperti di awang-awang, mabuk cinta.

Aku mulai menghibur diri. Semua yang terjadi di negeri ini bukanlah salah sayangku. “Lalu salah siapa?”, Yasmin melemparkan tanganku yang dari tadi digenggamnya.

Alangkah gampangnya mencari kambing berwarna hitam di tanah lapang. “What?”

Iya tho, bukankah asas praduga tak bersalah selalu berlaku?

“Tobat, tobat…sadar Mer, sadar. Cinta benar-benar telah membutakanmu.” Yasmin memegang kepalanya. Mungkin sekarang dia yang mabuk. Hehehe…mabuk keadaan.

“Sudahlah, bukannya aku tidak tahu, aku hanya tidak mau tahu. Karena di mataku, cintaku itu benar.”

Sekarang begini saja, biarkan aku seorang diri yang mencinta Suharto. Singkirkan semua pesaingku, sanggup?. Yasmin lemas. “Mer, ini saatnya aku harus minum obat.”

Aku terkekeh. Sayang, tersenyumlah. Karena senyum itu telah membuat hatiku mabuk cinta.****

Aku Wanita

Aku, Wanita

by.ien bunda elang

Langkah kaki ini terasa berat, gerbang sekolah kian terasa dekat. Ya, di SMU itu kami menjalani kawah candradimuka kami. “Aku diceraikan suamiku.” Satu kalimat terlontar dari mulut Arin. “What?” aku tak sanggup menatap matanya. Arin, sahabatku dari SMU. Kami selalu bersama di kegiatan apa pun. Namun, kami terpisah karena Arin diterima di Jogjakarta sedangkan aku di Semarang.

Setelah bertahun-tahun, kami dipertemukan di acara Dies Natalis SMU kami. Dan pertemuan itu memberiku banyak kejutan. Arin diceraikan suaminya dengan alasan yang tidak pernah aku pahami. “De, apa aku salah kalau aku belum bisa hamil?” Arin memulai pembicaraan. Saat itu kami sengaja memisahkan diri dari kerumunan orang-orang yang tengah bernostalgia.

Perkawinan Arin menginjak tahun ke tiga, tapi Arin belum mengandung juga. Saat itu, Arin bahkan mengajak suaminya untuk melakukan pemeriksaan total ke dokter kandungan. Tapi suaminya tidak beranjak dari duduknya. Dengan ditemani mertuanya, Arin pergi ke dokter kandungan dan Arin dinyatakan subur. “Aku tidak mandul, De,” Suara Arin mulai bergetar.

Sungguh, alasan suami Arin tidak dapat aku terima. Apakah wanita itu harus selalu disalahkan untuk melengkapi ego laki-laki? Itu yang terbersit di pikiranku.

“Ini nggak adil, Rin. Mengapa suamimu nggak mau diperiksa? Jangan- jangan dia yang mandul?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku.

Aku tetap tak habis pikir, apa salahnya wanita kalau Allah belum memberinya keturunan? Mengapa harus wanita yang menjadi korban?

“Nggak De, dia nggak salah. Aku yang salah. Berdasarkan diagnosa dokter, di mulut rahimku ada semacam penyakit. Sejenis sariawan kalau di mulut kita. Karena penyakit itu suasana rahimku menjadi terlalu asam, sehingga setiap sperma yang masuk akan mati,” Arin masih saja membela mantan suaminya.

Tetap saja aku tidak bisa menerima keadaan itu. “Sweety, kalau dia memang mencintaimu tulus, harusnya dia mengerti dengan kondisimu. Bukan malah menceraikanmu.” Suaraku meninggi.

Air mata Arin mulai bergulir. Mata air itu mulai membentuk sebuah aliran yang kian lama tambah deras. “Semestinya dia bersabar, menemanimu mencari pengobatan.”

Kepala Arin tertunduk. “Rin, bukannya aku memojokkanmu. Ini kenyataan. Ada ketidakadilan menimpamu dan aku nggak bisa berdiam diri mengetahuinya.”

“Semua sudah terjadi, De. Dan aku nggak tahu harus berbuat apa”

God! Tanpa sadar aku telah menggenggam tangan Arin kuat-kuat. Selama ini, walau di kota yang berbeda, kami selalu menyuarakan kesamaan gender. Tapi hari ini, Arin sahabatku justru tidak berdaya dengan permasalahannya. Benarkah wanita sudah benar-benar setara dengan pria? Sungguh, keyakinanku akan itu sudah goyah.

Kami, wanita, yang selalu disalahkan jika terjadi ketimpangan dalam rumah tangga. Sementara kaum pria selalu menonjolkan superiornya. Apakah kesalahan Arin, jika Allah belum memberinya keturunan? Apakah salah Arin, jika dia harus sakit seperti itu? Tabir terkuak, beberapa bulan setelah perceraian itu, Arin berjumpa dengan mantan suaminya di sebuah pusat perbelanjaan. Mantan suaminya tidak sendiri.

“Hai, kenalkan. Ini isteri baruku.” Kata mantan suaminya santai.

Mata Arin terbelalak. Arin menjauh, di sudut food court, dia meneleponku. “Aku tunggu di Citra Land, ke sini segera ya.”

Kami sudah kembali di tempat kami tinggal, aku di Semarang Atas dan Arin di Semarang Bawah. Aku segera membawa motor buntut kesayanganku dan menuju Citra Land.

Aku temukan Arin sedang duduk dan tatapannya kosong.

“De, ternyata aku diceraikan bukan karena aku belum memberi suamiku anak. Tapi karena suamiku memiliki wanita lain.”

Lagi-lagi, aku tidak mengerti. Haruskah kami menjadi korban untuk ego laki-laki? Apapun alasannya, aku tetap belum bisa mengerti.

“Sabar ya, kalau dia jahat. Masih banyak laki-laki yang baik hati di luar sana. “ Aku mengatakan itu, tetapi aku sendiri ragu. Bukan karena tidak mempercayai kaum Adam, melainkan banyaknya ketimpangan yang aku lihat.

Berapa banyak wanita harus menerima ketidakadilan hanya karena ego laki-laki. Ada yang dicerai karena tidak bisa mengandung, ada yang dicerai karena suami kalah dalam karir, ada yang karena istri tidak dapat mengimbangi hasrat suami, dan masih banyak lagi.

Mungkin Arin hanya sebuah contoh ketidakadilan itu. Namun, aku juga tidak mengerti. Ketika wanita juga mandah saja diperlakukan seperti itu. Lihat bagaimana Arin membela suaminya atas perlakuannya.

Aku, wanita Jawa. Yang selalu diajarkan untuk suwarga nunut neraka katut, dimana pun dan kemana pun suami membawa aku akan turut serta. Bagi kami, suami adalah tempat untuk mengabdi kasur, sumur, dapur, mungkin itu hanya sebuah dogma.

Hingga kaum lelaki menerjemahkannya dengan semaunya. Saat dia butuh, wanita disayang-sayang. Tidak butuh, dibuang. Dan Kartini dari Jepara pun memberontak. Kasur, sumur, dapur memang sudah kodrat wanita. Tapi apakah disia-siakan dengan mengatasnamakan superioritas laki-laki juga kodrat wanita.

Ketika banyak pergerakan yang mengusung bendera kesamaan gender mulai dikibarkan, ketidakadilan pun berjalan seiring kemajuan itu.

“Arin, jangan pernah merasa sendiri,” kataku untuk menenangkan sahabatku itu.

Jika aku seorang wanita Jawa, lalu bagaimana dengan wanita-wanita lain? Wanita Sumatera, Papua, Kalimantan, Bali, bukankah kita wanita Indonesia?

Aku bukan feminis, aku hanya tidak suka dengan apa yang terjadi dengan sahabatku. Dan aku juga tidak suka dengan ketidakberdayaannya.

Jika bertahun-tahun lalu, kami ikut pergerakan menginginkan persamaan gender, saat ini kami tersadar. Wanita tidak akan pernah setara dengan laki-laki.

Arin tersenyum, dia mulai bisa menerima fakta yang terjadi di depan matanya. “De, ternyata kita tidak sekuat yang kita kira.”

“Rin, kamu kuat kok, Sekuat wanita-wanita yang mengalami masalah seperti ini.” Kami berpelukan dan berjalan menuju pintu keluar.

Setahun berlalu, kami sibuk dengan kehidupan masing-masing. Aku sibuk dengan anak semata wayangku dan Arin sibuk dengan anak-anak didiknya.

Hingga musim liburan pun datang, kami bertemu kembali. “De, aku akan menikah lagi. Dengan duda beranak dua.”

“Wah…selamat ya.”

Aku ikut bahagia dengan kesenangan yang Arin alami. “Rin, penyakitmu sudah sembuh?”

“Dia mau menemaniku menjalani pengobatan. Dan bersabar untuk menunggu anak dariku. Toh, kami sudah memiliki dua anak yang lucu-lucu.”

“Syukurlah.”

“De, aku percaya masih ada laki-laki baik di luar sana.”

Kami tertawa, Arin rupanya teringat dengan kata-kataku.

“Dia selalu mengatakan dia bersedia membahagiakan aku, De. Mencintaiku apa adanya.”

Aku tersenyum kecil, semoga sahabatku. Semoga. Karena aku percaya, saat mantan suami Arin akan mendapatkannya pasti kata-kata itu juga muncul. “Hus, jangan pesimis begitu dong. Dia sudah tahu semua yang terjadi dengan aku, De. Semoga dia bisa lebih sabar. Doain ya.”

Aku mengangguk. Sahabatku memang segera bangkit dari keterpurukannya. Jika semua wanita yang terpuruk dalam rumah tangganya bisa cepat berdiri, dunia ini akan begitu berwarna. Karena dari rahim wanita-wanita yang bahagia akan muncul generasi yang penuh suka cita.****

Ilalang

Ilalang
by.ien bunda elang

Saudara-saudaraku, aku awali dengan salam agar kamu tidak merasa sakit hati dengan apa yang aku pikirkan tentangmu. Mungkin di dalam mobilmu begitu dingin hingga kau tak rasakan terik matahari yang tak pernah mahal. Seperti minyak yang menjadi barang mewah bagi saudara-saudaraku di belahan Indonesia ini.
Hampir tiap hari tetanggaku membawa jerigen dan menitipkan di warung ibu mertua.Katanya kita kaya, apa pun bisa jadi makanan. Gemah ripah loh jinawi. Hidup bagai di kolam susu. Mungkin iya untuk mereka yang duduk di dalam mobil dengan tanda VVIP.
Atau yang memiliki kekebalan diplomatik, atau yang selalu berganti kursi tiap 5 tahun sekali. Namun tidakbuat tetanggaku itu.
Setelah beberapa saat merasa lega karena harga bensin turun (walau dia tidak menikmati, karena tidak memiliki kendaraan bermotor). Tapi pikiran positifnya tetap berjalan, siapa tahu semua menjadi murah.
Tapi lacur, minyak makin langka. Padahal barang itu menjadi nafas kehidupannya. Rumahnya yang hanya bernyalakan teplok kecil kian suram. Dia harus berbagi dengan teman seperjuangannya.
Sementara di tv pak RT tersiarada krisis global. Di mana tempat ada PHK. Tetanggaku tersenyum.Mau ada PHK atau tidak dia tak terpengaruh.Dia hanya pedagang kecil di pasar rakyat. Hanya saja, tetanggaku itu sempat sport jantung. Anak lelakinya menjadi buruh di pabrik sepatu. Sedikit dia berdoa agar jagoannya tidak terkena PHK.
Sambil menatap rerumputan di tegalan yang hanya sepetak, tetanggaku itu bergumam. Andai semua sesederhana ilalang. Tumbuh menjalar, kuat mengakar. Tidak seperti mereka yang mengatasnamakan keinginan kita.
Janji manis menjelang duduk di kursi, setelahnya? entah. Mungkin tetanggaku juga ikut andil menciptakan kalangan borjuis yang mengatasnamakan rakyat. Seperti aku juga.
Tapi ilalang tetaplah ilalang...menjalar dan mengakar. Kaum proletar seperti tetanggaku pun akan selalu begitu. Waiting for godot mungkin..dan saat ini, menunggu minyak.Nyakkkk...!

Rindu

Rindu
by. ien bunda elang

sedetik
semenit
seluruh waktu
tak tahu
entah
mungkin
berdusta
mengingkari
selama itu baru kusadari
dimensi tak lagi membatasi kita
sebentar
sejenak
atau bahkan selamanya
hanya satu kata
lima huruf
terpatri
kuat