Senin, 15 Desember 2008

angka 2--24+1

Angka 2

Prittttttttttttttt……….peluit panjang bergema, tanda berakhirnya pertandingan sepakbola di Stadion Pahoman, Bandar Lampung. Tim kesayangan pencinta bola Lampung berhasil mengalahkan lawannya.

Aku tertawa puas, karena mendapatkan cerita menyenangkan. Persatuan Sepakbola Bandar Lampung (PSBL) menang telak. Dengan tas ransel di punggung, aku berjalan menuju kerumunan penonton. Menanyakan komentar mereka atas jalannya pertandingan. “PSBL memang menang teknik. Semoga bisa terus begini.” “PSBL maju terus.” Hmmm…aku tersenyum, ikut luruh dalam kegembiraan mereka.

“Kuya bathok…kalau sudah selesai pertandingan itu langsung ke kantor. Berita segera dibuat. Malah keluyuran, dasar!” Lagi-lagi omelan si Bos bergema.

Padahal, dari Stadion Pahoman aku tak kemana-mana. Hanya pulang ke kamar kost untuk mandi. Karena baju yang kupakai terasa lepek di badan. Deddy, Fotograferku hanya tertawa mendengar aku diomelin.

“Sukurinn…” Deddy mengolok-olokku.

Tangan kananku terkepal dan tanpa sepengetahuan Bos, kepalanku kuarahkan ke Deddy. Somprett..anak itu hanya terbahak-bahak.

Segera aku susun berita kemenangan PSBL tanpa melihat Bos yang asyik mengedit berita di meja belakangku. Di sisi kanan meja kerjaku, Ama tengah menyimak catatannya. Ita juga tak kalah asyiknya. Huhuhuhuhu…semua larut dalam catatannya.

“Hallo…” Yuni muncul dari pintu masuk ruang redaksi. Wajahnya cerah. Yuni berjalan menuju meja kerjanya. “Piye Nduk, PSBL menang atau kalah?”

“Menang.” Tanpa menoleh aku menjawab pertanyaan Yuni. Jari tangan kami pun menari di atas tuts keyboard komputer kantor.

Adzan maghrib berkumandang, Yuni, Ama dan Ita sudah berkemas untuk pulang ke rumah masing-masing.

“De, dah kelar belum?” Ama mendekatiku. Kepalaku menggeleng. Kita tunggu di luar ya. Aku mengangguk. Ketiga sahabatku keluar dari ruang redaksi menuju kantin di bawah kantor. Aku berjalan menuju kamar mandi, mengambil air. Wajahku bersujud menghadap Gusti.

Masih membayang dengan jelas, hari itu, ribuan pelamar menjejali ruangan tes seleksi karyawan Lampung Post. “Saya menunggu di parkiran saja Mbak.” Mas Udin berlalu setelah mengantarkan aku sampai pintu masuk. Sudut mataku memandang langkah Mas Udin.

Aku bergegas menuju meja daftar ulang untuk mengambil nomor peserta. Mataku menyapu seluruh ruangan, tak satu pun yang aku kenal. Aku duduk, nomor aku sematkan di dadaku. Aku mencoba tersenyum pada peserta di samping kanan kiriku.

Ughh.aku dianggurin, tak satu pun membalas senyumanku. Malu rasanya. Aku sadar, mereka kompetitorku.

Tes tertulis berlalu. “Seluruh peserta tes harap menunggu.” Suara panitia menggelegar memenuhi seantero ruangan.

Aku keluar, mencari udara segar. Tes tertulis yang tidak begitu sukar, tetapi membutuhkan pemikiran yang dalam. Kakiku mengajak melangkah ke tempat parkir. “Mas Udin, Mas.” Aku membangunkan Mas Udin yang tertidur di dalam mobil. “Bisa nggak beli minum?” Mas Udin tersenyum serasa menyatakan kesediaannya untuk membeli air minum.

Deretan nama yang semula ribuan, terpangkas menjadi ratusan. Hore..aku lolos ke tahap selanjutnya. Tes psikologi. Aku menebak-nebak, bagaimana bentuk tes psikologi. Maklum, baru kali ini aku melamar pekerjaan.

Aku masih menenpati tempat dudukku semula, hanya saja orang-oran di sekitarku sudah berubah formasinya. Duduk di belakangku seorang gadis kurus, tinggi, dan bermata sipit. “Hai.” Aku berusaha untuk menyapanya terlebih dahulu. Tes belum dimulai, panitia tengah menyiapkan materi tes.

Sang Gadis tersenyum. Seneng juga akhirnya ada yang mau tersenyum denganku. “Dea” Aku mengulurkan tanganku. “Ama” Kami berkenalan. Itulah awal aku mengenal Ama.

Selembar kertas putih dibagikan satu persatu, perintahnya jelas, aku harus menggambar. Oh God! Aku paling lemah jika diminta menggambar. Namun karena kertas itu harus terisi, aku menggambar sebisaku. Sebuah rumah lengkap dengan pintu dan pagarnya, di sisi kanan depan aku gambar sebuah pohon rindang, di sisi kiri aku gambar mobil beroda empat. Aku tertawa melihat asil gambaranku yang sangat lucu. Biarlah, toh aku bukan seniman yang bisa menumpahkan ide-idenya di atas kanvas.

Aku melirik Ama, teman baruku itu menggambar manusia lengkap dengan hidung, mata, dan telinganya.

Gambar Ama terlihat lucu juga di mataku. Tahap demi tahap aku lewati, dari ratusan, kami menjadi tiga puluhan. Kami terabgi menjadi lima kelompok. Rupanya kami harus melakukan sebuah game yang menonjolkan diskusi dalam memecahkan sebuah permasalahan. Aku berargumen dengan peserta tes lain di kelompokku.

Rupanya, kelompok kecil yang terdiri dari peserta tes itu merupakan sebuah simulasi team work. Ada yang egois, ada yang berjiwa pemimpin, ada yang hanya menurut tanpa berargumen.

Di akhir sesi, aku menerima sebuah amplop. “Yang mendapat amplop, berarti besok harus datang ke Kantor Lampung Post di Jalan Ahmad Yani, Tanjukarang. Tes selanjutnya dilaksanakan di kantor mulai pukul 08.00.”

Alhamdulillah, Aku berhasil melewati tahap demi tahap. Perjalanan pulang ke Kalianda terasa menjadi sangat indah.

----------------bersambung--------------
entah kapan nyampai di 24+1...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar