Senin, 15 Desember 2008

Aku Wanita

Aku, Wanita

by.ien bunda elang

Langkah kaki ini terasa berat, gerbang sekolah kian terasa dekat. Ya, di SMU itu kami menjalani kawah candradimuka kami. “Aku diceraikan suamiku.” Satu kalimat terlontar dari mulut Arin. “What?” aku tak sanggup menatap matanya. Arin, sahabatku dari SMU. Kami selalu bersama di kegiatan apa pun. Namun, kami terpisah karena Arin diterima di Jogjakarta sedangkan aku di Semarang.

Setelah bertahun-tahun, kami dipertemukan di acara Dies Natalis SMU kami. Dan pertemuan itu memberiku banyak kejutan. Arin diceraikan suaminya dengan alasan yang tidak pernah aku pahami. “De, apa aku salah kalau aku belum bisa hamil?” Arin memulai pembicaraan. Saat itu kami sengaja memisahkan diri dari kerumunan orang-orang yang tengah bernostalgia.

Perkawinan Arin menginjak tahun ke tiga, tapi Arin belum mengandung juga. Saat itu, Arin bahkan mengajak suaminya untuk melakukan pemeriksaan total ke dokter kandungan. Tapi suaminya tidak beranjak dari duduknya. Dengan ditemani mertuanya, Arin pergi ke dokter kandungan dan Arin dinyatakan subur. “Aku tidak mandul, De,” Suara Arin mulai bergetar.

Sungguh, alasan suami Arin tidak dapat aku terima. Apakah wanita itu harus selalu disalahkan untuk melengkapi ego laki-laki? Itu yang terbersit di pikiranku.

“Ini nggak adil, Rin. Mengapa suamimu nggak mau diperiksa? Jangan- jangan dia yang mandul?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku.

Aku tetap tak habis pikir, apa salahnya wanita kalau Allah belum memberinya keturunan? Mengapa harus wanita yang menjadi korban?

“Nggak De, dia nggak salah. Aku yang salah. Berdasarkan diagnosa dokter, di mulut rahimku ada semacam penyakit. Sejenis sariawan kalau di mulut kita. Karena penyakit itu suasana rahimku menjadi terlalu asam, sehingga setiap sperma yang masuk akan mati,” Arin masih saja membela mantan suaminya.

Tetap saja aku tidak bisa menerima keadaan itu. “Sweety, kalau dia memang mencintaimu tulus, harusnya dia mengerti dengan kondisimu. Bukan malah menceraikanmu.” Suaraku meninggi.

Air mata Arin mulai bergulir. Mata air itu mulai membentuk sebuah aliran yang kian lama tambah deras. “Semestinya dia bersabar, menemanimu mencari pengobatan.”

Kepala Arin tertunduk. “Rin, bukannya aku memojokkanmu. Ini kenyataan. Ada ketidakadilan menimpamu dan aku nggak bisa berdiam diri mengetahuinya.”

“Semua sudah terjadi, De. Dan aku nggak tahu harus berbuat apa”

God! Tanpa sadar aku telah menggenggam tangan Arin kuat-kuat. Selama ini, walau di kota yang berbeda, kami selalu menyuarakan kesamaan gender. Tapi hari ini, Arin sahabatku justru tidak berdaya dengan permasalahannya. Benarkah wanita sudah benar-benar setara dengan pria? Sungguh, keyakinanku akan itu sudah goyah.

Kami, wanita, yang selalu disalahkan jika terjadi ketimpangan dalam rumah tangga. Sementara kaum pria selalu menonjolkan superiornya. Apakah kesalahan Arin, jika Allah belum memberinya keturunan? Apakah salah Arin, jika dia harus sakit seperti itu? Tabir terkuak, beberapa bulan setelah perceraian itu, Arin berjumpa dengan mantan suaminya di sebuah pusat perbelanjaan. Mantan suaminya tidak sendiri.

“Hai, kenalkan. Ini isteri baruku.” Kata mantan suaminya santai.

Mata Arin terbelalak. Arin menjauh, di sudut food court, dia meneleponku. “Aku tunggu di Citra Land, ke sini segera ya.”

Kami sudah kembali di tempat kami tinggal, aku di Semarang Atas dan Arin di Semarang Bawah. Aku segera membawa motor buntut kesayanganku dan menuju Citra Land.

Aku temukan Arin sedang duduk dan tatapannya kosong.

“De, ternyata aku diceraikan bukan karena aku belum memberi suamiku anak. Tapi karena suamiku memiliki wanita lain.”

Lagi-lagi, aku tidak mengerti. Haruskah kami menjadi korban untuk ego laki-laki? Apapun alasannya, aku tetap belum bisa mengerti.

“Sabar ya, kalau dia jahat. Masih banyak laki-laki yang baik hati di luar sana. “ Aku mengatakan itu, tetapi aku sendiri ragu. Bukan karena tidak mempercayai kaum Adam, melainkan banyaknya ketimpangan yang aku lihat.

Berapa banyak wanita harus menerima ketidakadilan hanya karena ego laki-laki. Ada yang dicerai karena tidak bisa mengandung, ada yang dicerai karena suami kalah dalam karir, ada yang karena istri tidak dapat mengimbangi hasrat suami, dan masih banyak lagi.

Mungkin Arin hanya sebuah contoh ketidakadilan itu. Namun, aku juga tidak mengerti. Ketika wanita juga mandah saja diperlakukan seperti itu. Lihat bagaimana Arin membela suaminya atas perlakuannya.

Aku, wanita Jawa. Yang selalu diajarkan untuk suwarga nunut neraka katut, dimana pun dan kemana pun suami membawa aku akan turut serta. Bagi kami, suami adalah tempat untuk mengabdi kasur, sumur, dapur, mungkin itu hanya sebuah dogma.

Hingga kaum lelaki menerjemahkannya dengan semaunya. Saat dia butuh, wanita disayang-sayang. Tidak butuh, dibuang. Dan Kartini dari Jepara pun memberontak. Kasur, sumur, dapur memang sudah kodrat wanita. Tapi apakah disia-siakan dengan mengatasnamakan superioritas laki-laki juga kodrat wanita.

Ketika banyak pergerakan yang mengusung bendera kesamaan gender mulai dikibarkan, ketidakadilan pun berjalan seiring kemajuan itu.

“Arin, jangan pernah merasa sendiri,” kataku untuk menenangkan sahabatku itu.

Jika aku seorang wanita Jawa, lalu bagaimana dengan wanita-wanita lain? Wanita Sumatera, Papua, Kalimantan, Bali, bukankah kita wanita Indonesia?

Aku bukan feminis, aku hanya tidak suka dengan apa yang terjadi dengan sahabatku. Dan aku juga tidak suka dengan ketidakberdayaannya.

Jika bertahun-tahun lalu, kami ikut pergerakan menginginkan persamaan gender, saat ini kami tersadar. Wanita tidak akan pernah setara dengan laki-laki.

Arin tersenyum, dia mulai bisa menerima fakta yang terjadi di depan matanya. “De, ternyata kita tidak sekuat yang kita kira.”

“Rin, kamu kuat kok, Sekuat wanita-wanita yang mengalami masalah seperti ini.” Kami berpelukan dan berjalan menuju pintu keluar.

Setahun berlalu, kami sibuk dengan kehidupan masing-masing. Aku sibuk dengan anak semata wayangku dan Arin sibuk dengan anak-anak didiknya.

Hingga musim liburan pun datang, kami bertemu kembali. “De, aku akan menikah lagi. Dengan duda beranak dua.”

“Wah…selamat ya.”

Aku ikut bahagia dengan kesenangan yang Arin alami. “Rin, penyakitmu sudah sembuh?”

“Dia mau menemaniku menjalani pengobatan. Dan bersabar untuk menunggu anak dariku. Toh, kami sudah memiliki dua anak yang lucu-lucu.”

“Syukurlah.”

“De, aku percaya masih ada laki-laki baik di luar sana.”

Kami tertawa, Arin rupanya teringat dengan kata-kataku.

“Dia selalu mengatakan dia bersedia membahagiakan aku, De. Mencintaiku apa adanya.”

Aku tersenyum kecil, semoga sahabatku. Semoga. Karena aku percaya, saat mantan suami Arin akan mendapatkannya pasti kata-kata itu juga muncul. “Hus, jangan pesimis begitu dong. Dia sudah tahu semua yang terjadi dengan aku, De. Semoga dia bisa lebih sabar. Doain ya.”

Aku mengangguk. Sahabatku memang segera bangkit dari keterpurukannya. Jika semua wanita yang terpuruk dalam rumah tangganya bisa cepat berdiri, dunia ini akan begitu berwarna. Karena dari rahim wanita-wanita yang bahagia akan muncul generasi yang penuh suka cita.****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar