Sabtu, 31 Januari 2009

Pada Tukang Becak Aku BErguru

by ien bunda elang

Mbah Sartun seorang tukang becak, berangkat dari rumah di Baledono subuh-subuh. Giat dan bersemangat. Anaknya ada lima, meninggal satu karena asma. Istrinya seorang pemijat yang cukup lihai. Setiap hari, mbah Sartun ikut ibu saya. Membantu menata duren dan menghitungnya. Beberapa hari ini dia ijin untuk tidak bekerja, ya..mbah Sartun terkena cikungunya.. (cepet sembuh mbah!).

Di pasar, saya dekat dengan para tukang becak. Dan tenaga-tenaga angkut barang. Maklum, sejak kecil saya hidup di tengah-tengah mereka. Maklum saja, ibu saya seorang pedagang. Banyak hal yang membuat saya kagum dari jiwa mereka. Tak peduli yang tua atau yang muda membuat saya sering tertegun.

Setiap tetes keringat mereka, berarti rejeki buat keluarganya. Pagi, menjelang subuh, pasar sudah ramai. Teman-teman saya itu belum tahu, apakah akan ada penumpang atau barang yang harus mereka hantar ke tempatnya. Jika ada, berarti mereka akan membawa pulang uang untuk keluarga. Jika tidak,...(semoga jangan..)
Setiap saat mereka selalu tertawa, bercanda, bersemangat..walau saya tahu dan mereka pun tahu, hari ini apa yang bisa mereka bawa pulang. Uangkah? atau hanya senyum lelah.

YAng membuat saya terharu dan sering merenung, mereka selalu bersemangat. Mengayuh becak, mengais rejeki walau belum tahu dikayuhan ke berapa mereka dapat rejeki. Pernah saya bertanya pada mbah Sartun, dan jawabannya membuat saya terhenyak. Hidup itu sekedar mampir ngombe, kita harus berpikiran positif, nyuwun sama yang Kuasa. Dan tetap nggenjot becak. Sekarang mbak lihat, tidak ada kan anak tukang becak yang kelaparan? tidak ada kan anak tukang becak yang tidak sekolah?
Saya mengangguk. Mbah Sartun benar. Benar sekali.

KAya dan miskin itu hanya ada di pikiran kita. Apa ada ukuran kaya dan miskin seseorang? Saya menggeleng. Mungkin kita merasa kaya ketika kita bisa mengendarai mobil BMW dan memiliki rumah 10, tapi ada juga yang belum merasa kaya ketika dia memiliki lebih dari itu. Sedangkan mbah Sartun merasa kaya saat dia pulang bisa membawa 10kg beras dan uang 50 ribu.

Waduhh...filosofi tingkat tinggi neh. Saya geleng-geleng kepala. Dan akhirnya pun saya kembali bertanya pada diri saya sendiri, sudahkah saya merasa kaya? Mbah Sartun tersenyum, sudahlah mbak, katanya. Kemudian dia berlalu untuk bergabung dengan tenaga angkut lainnya dan mulai bekerja membantu ibu saya. Menata duren.****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar